Banyak hal
yang terjadi. Ya, tentu aja. Gue nggak ingat apa yang gue pikirkan saat mulai
menapaki angka dua puluh tahun. Nggak ingat juga apa ekspektasi gue, tapi yang
jelas banyak hal berjalan nggak menyenangkan di tahun ini. Gue nggak baik-baik
aja.
Awal dua puluh, gue dipusingkan dengan masalah tugas akhir dan itu berlangsung sepanjang dua puluh bahkan akan terus menghantui gue sampai dua puluh satu mendatang -kalau ada. Dari dulu gue emang hampir nggak pernah serius soal kuliah dan ternyata ke-nggakseriusan gue di semester kemarin berimbas besar buat gue sekarang.
Awal dua puluh, gue dipusingkan dengan masalah tugas akhir dan itu berlangsung sepanjang dua puluh bahkan akan terus menghantui gue sampai dua puluh satu mendatang -kalau ada. Dari dulu gue emang hampir nggak pernah serius soal kuliah dan ternyata ke-nggakseriusan gue di semester kemarin berimbas besar buat gue sekarang.
Di dua puluh,
gue punya warna baru dalam hidup gue. Bisa kali, ya, disebut merah jambu?
Entahlah. Awal dua puluh -meskipun setengah mati gue menyangkal- gue akhirnya
sadar bahwa gue lebih dari sekadar kagum sama salah satu teman gue. Untuk
pertama kalinya dalam hidup gue, gue berani menyebut apa yang gue rasakan
sebagai “jatuh cinta”. Gue jatuh cinta, first time for me. Mungkin bukan
pertama kalinya, tapi yang jelas itu untuk pertama kalinya gue menyebutnya
“jatuh cinta”. Kata orang, jatuh cinta itu sangat dekat dengan kegilaan. Ya,
itu sepenuhnya benar menurut gue. Gue sepertinya udah gila, benar-benar
menggilai orang yang beberapa bulan terakhir ini gue sebut dengan “Bintang”.
Setiap harinya gue nggak pernah bisa berhenti memikirkan Bintang. Terdengar lebay dan apa-banget, tapi gue serius. Yang lebih parahnya lagi, gue selalu senyum-senyum sendiri tiap ingat apa pun tentang Bintang. Semua hal yang gue temui rasanya jadi mengingatkan gue dengan Bintang. Semua hal tentang dia jadi begitu detail. Bintang terlihat begitu sempurna di mata gue. Cuma sedikit celahnya dan kalau pun ada, gue bisa mengerti bahwa sesempurna apa pun Bintang, dia tetap memiliki kekurangan.
Sayangnya, dia adalah Bintang. Selamanya, yang namanya bintang hanya ada di langit dan mustahil untuk dimiliki. Bintang memang diciptakan untuk dikagumi dari jauh, bukan untuk berada dalam genggaman. Well, gue sangat menikmati masa-masa menjadi secret admirer-nya Bintang. Sampai saat ini masih begitu walaupun gue udah merasa terangnya Bintang nggak lagi cukup menyilaukan gue dan membuat gue seterpukau dulu.
Di dua puluh ini, untuk pertama kalinya juga gue in relationship dengan seseorang. Rasanya ternyata biasa aja. Mungkin itu karena gue nggak terlalu ngerti dengan apa yang gue lakukan -seringkali begitu. Bahkan saat dia tanya kenapa gue sampai bisa memutuskan untuk in relationship, gue nggak punya ide untuk menjawab pertanyaan itu. At least, itu adalah sebuah pengalaman. Iya, kan?
Seseorang yang memberi pengaruh yang cukup besar buat gue adalah orang yang gue sebut “lelaki abu-abu”. Gue mengenal dia sejak masih sembilan belas, tapi gue baru tahu bahwa gue dan dia nggak bisa jadi sekadar teman saat dua puluh ini. Jujur, banyak hal yang berubah setelah lebih dekat dengan orang itu. Lebih ke pemikiran gue. Itu yang membuat gue kadang berpikir: kenapa gue harus kenal sama orang ini, sih?. Gue seringkali pengen kembali jadi gue sebelum kenal orang itu. Gue ngak mau tahu tentang apa pun yang sekarang gue tahu dari orang itu. Gue mau tetap memandang semuanya putih, tanpa hitam dan abu-abu. Naïf, tapi gue lebih suka mengingkari hal buruk yang sebelumnya gue yakini nggak ada dan berharap hal buruk itu nggak akan pernah menyentuh kehidupan gue.
Awalnya, gue pikir, dari lelaki abu-abu itu gue cuma mempelajari dua hal. Pertama, ternyata ada -dan sepertinya banyak- cowok yang menilai seorang cewek dari ukuran-ukuran tertentu. What the … -_-. Kedua, kehidupan nyata itu ternyata bisa jadi terlalu sinetron. Tapi ternyata gue salah. Orang itu melakukan lebih banyak dari sekadar membuat gue mengetahui kedua hal itu. Ternyata orang itu datang ke kehidupan gue untuk memasukkan kata “selingkuh” dan “patah hati” dalam kamus hidup gue. Haruskah gue berterimakasih? -,-
Dulu, gue yakin banget kalau suatu saat nanti gue punya pasangan, gue akan jadi orang yang setia. Sekarang gue tahu bahwa keyakinan awal gue itu salah. Dulu, gue juga selalu nggak habis pikir sama cewek yang patah hati sampai nangis cuma gara-gara cowok. That’s really something not important to do. But, pada akhirnya gue termakan omongan gue sendiri. Lelaki abu-abu itu bikin gue nangis gara-gara cowok untuk pertama kalinya dan menyebut keadaan gue itu sebagai “patah hati”. Good job, Al! -_-
Kehilangan yang bikin gue nyaris gila -dan ini yang terburuk- adalah kehilangan diri gue sendiri. Gue bahkan sering berpikir siapa gue yang sekarang, apakah diri gue sebenarnya atau diri gue yang bertopeng yang sedang memegang kendali atas diri gue. Semua membingungkan. Gue semakin kesulitan berteman dengan diri gue karena bahkan kami nggak bisa berkomunikasi dengan baik lagi. Parahnya, gue merasa ada dua orang yang berebut untuk mengendalikan diri gue.
Setiap harinya gue nggak pernah bisa berhenti memikirkan Bintang. Terdengar lebay dan apa-banget, tapi gue serius. Yang lebih parahnya lagi, gue selalu senyum-senyum sendiri tiap ingat apa pun tentang Bintang. Semua hal yang gue temui rasanya jadi mengingatkan gue dengan Bintang. Semua hal tentang dia jadi begitu detail. Bintang terlihat begitu sempurna di mata gue. Cuma sedikit celahnya dan kalau pun ada, gue bisa mengerti bahwa sesempurna apa pun Bintang, dia tetap memiliki kekurangan.
Sayangnya, dia adalah Bintang. Selamanya, yang namanya bintang hanya ada di langit dan mustahil untuk dimiliki. Bintang memang diciptakan untuk dikagumi dari jauh, bukan untuk berada dalam genggaman. Well, gue sangat menikmati masa-masa menjadi secret admirer-nya Bintang. Sampai saat ini masih begitu walaupun gue udah merasa terangnya Bintang nggak lagi cukup menyilaukan gue dan membuat gue seterpukau dulu.
Di dua puluh ini, untuk pertama kalinya juga gue in relationship dengan seseorang. Rasanya ternyata biasa aja. Mungkin itu karena gue nggak terlalu ngerti dengan apa yang gue lakukan -seringkali begitu. Bahkan saat dia tanya kenapa gue sampai bisa memutuskan untuk in relationship, gue nggak punya ide untuk menjawab pertanyaan itu. At least, itu adalah sebuah pengalaman. Iya, kan?
Seseorang yang memberi pengaruh yang cukup besar buat gue adalah orang yang gue sebut “lelaki abu-abu”. Gue mengenal dia sejak masih sembilan belas, tapi gue baru tahu bahwa gue dan dia nggak bisa jadi sekadar teman saat dua puluh ini. Jujur, banyak hal yang berubah setelah lebih dekat dengan orang itu. Lebih ke pemikiran gue. Itu yang membuat gue kadang berpikir: kenapa gue harus kenal sama orang ini, sih?. Gue seringkali pengen kembali jadi gue sebelum kenal orang itu. Gue ngak mau tahu tentang apa pun yang sekarang gue tahu dari orang itu. Gue mau tetap memandang semuanya putih, tanpa hitam dan abu-abu. Naïf, tapi gue lebih suka mengingkari hal buruk yang sebelumnya gue yakini nggak ada dan berharap hal buruk itu nggak akan pernah menyentuh kehidupan gue.
Awalnya, gue pikir, dari lelaki abu-abu itu gue cuma mempelajari dua hal. Pertama, ternyata ada -dan sepertinya banyak- cowok yang menilai seorang cewek dari ukuran-ukuran tertentu. What the … -_-. Kedua, kehidupan nyata itu ternyata bisa jadi terlalu sinetron. Tapi ternyata gue salah. Orang itu melakukan lebih banyak dari sekadar membuat gue mengetahui kedua hal itu. Ternyata orang itu datang ke kehidupan gue untuk memasukkan kata “selingkuh” dan “patah hati” dalam kamus hidup gue. Haruskah gue berterimakasih? -,-
Dulu, gue yakin banget kalau suatu saat nanti gue punya pasangan, gue akan jadi orang yang setia. Sekarang gue tahu bahwa keyakinan awal gue itu salah. Dulu, gue juga selalu nggak habis pikir sama cewek yang patah hati sampai nangis cuma gara-gara cowok. That’s really something not important to do. But, pada akhirnya gue termakan omongan gue sendiri. Lelaki abu-abu itu bikin gue nangis gara-gara cowok untuk pertama kalinya dan menyebut keadaan gue itu sebagai “patah hati”. Good job, Al! -_-
Kehilangan yang bikin gue nyaris gila -dan ini yang terburuk- adalah kehilangan diri gue sendiri. Gue bahkan sering berpikir siapa gue yang sekarang, apakah diri gue sebenarnya atau diri gue yang bertopeng yang sedang memegang kendali atas diri gue. Semua membingungkan. Gue semakin kesulitan berteman dengan diri gue karena bahkan kami nggak bisa berkomunikasi dengan baik lagi. Parahnya, gue merasa ada dua orang yang berebut untuk mengendalikan diri gue.
Walaupun
sering merasa sendirian -apalagi sepanjang dua puluh ini, gue bersyukur masih
ada beberapa orang baik yang gue temui dan memberikan semangat positif buat
gue. Gue harus percaya bahwa Tuhan masih sayang sama gue. Jadi, nggak ada
alasan untuk gue nggak menyanyangi diri gue sendiri.
Dua puluh ini penuh warna, meskipun lebih banyak warna gelap yang mendominasi. Gue sempat berpikir, kenapa dua puluh ini nggak di-skip aja?. Tapi karena that’s something impossible, gue cuma bisa berharap dua puluh menjadikan diri gue pembelajar yang baik agar nggak menyia-nyiakan waktu di dua puluh satu mendatang -kalau ada.
Dua puluh ini penuh warna, meskipun lebih banyak warna gelap yang mendominasi. Gue sempat berpikir, kenapa dua puluh ini nggak di-skip aja?. Tapi karena that’s something impossible, gue cuma bisa berharap dua puluh menjadikan diri gue pembelajar yang baik agar nggak menyia-nyiakan waktu di dua puluh satu mendatang -kalau ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar